MEROKOK DAN ANESTHESIA



Perokok, baik yang aktif maupun yang pasif memiliki risiko hampir 6 kali lipat untuk mengalami masalah pernapasan perioperatif jika dibandingkan dengan non perokok. Rokok mengandung nikotin dan sedikitnya 4700 bahan kimia lainnya yang 43 diantaranya dikenal bersifat karsinogenik. Merokok dalam jangka panjang dapat menimbulkan banyak penyakit seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), kanker paru, penyakit jantung iskemik dan berbagai masalah pembuluh darah lainnya.
Pada perokok mukosa saluran pernapasannya akan memproduksi mukus dalam jumlah yang besar namun dibersihkan dengan kurang efektif oleh silia pada mukosa saluran pernapasan karena fungsinya yang terganggu. Saluran pernapasannya menjadi hiper-reaktif akibat kegagalan dari fungsi kekebalan tubuh diarea tersebut. Hal ini menyebabkan para perokok potensial bermasalah pada saluran pernapasannya selama anestesia berlangsung dan juga pada periode post operatif, dimana beberapa penyakit seperti atelektasis dan pneumonia sudah mengintai para perokok, terutama pada pasien yang dilakukan pembedahan di area dada. Risiko ini juga dapat meningkat pada pasien yang kegemukan (obesitas).
Peningkatan sensitifitas saluran pernapasan pada perokok dapat muncul sebagai batuk, spasme laring, dan turunnya saturasi O2 secara cepat pada saat di induksi menggunakan volatil agents terutama jenis isofluran. Namun hal ini dapat diatasi dengan menggunakan bahan yang kurang iritatif seperti sevofluran dan melakukan pendalaman anestesia secara perlahan atau menggunakan induksi jalur intravena menggunakan propofol.

Untuk mengurangi semua risiko anestesi pada perokok dapat ditempuh beberapa hal berikut :
1. Berhenti merokok setidaknya 8 minggu sebelum suatu tindakan operasi elektif dilakukan.
2. Apabila sulit melakukan hal diatas setidaknya pasien tidak merokok selama 12 jam sebelum operasi untuk menghilangkan efek nikotin (aktivasi sistem simpatoadrenergik yang dapat meningkatkan tahanan arteri koroner). Disamping itu kadar karboxyhemoglobin (COHb) yang pada perokok berat dapat mencapai 5-15% dapat diturunkan. Peningkatan kadar COHb ini dapat menggeser kurva disosiasi ke kiri sehingga menurunkan kadar oksigen yang dapat diangkut oleh darah. Ikatan COHb ini juga dapat mengaburkan pembacaan alat pengukur saturasi O2 karena memiliki spektrum yang hampir sama dengan oxyhemoglobin sehingga dapat terjadi apa yang kita kenal dengan falsely high oxygen saturation reading.

Sumber : oxford handbook of anesthesia


[+/-] Selengkapnya...

PUASA PREOPERATIF


Puasa menjelang sebuah tindakan operasi adalah suatu hal yang rutin dilakukan untuk mengurangi efek samping dari suatu tindakan anestesi yang dilakukan selama pembedahan. Puasa bertujuan mengurangi resiko terjadinya aspirasi cairan lambung ke paru-paru pada penderita yang sedang menjalani pembedahan. Aspirasi sering terjadi pada pasien yang anestesianya tidak adequat, hamil, gemuk, airway sulit, operasi emergency, perut penuh dan pasien dengan gangguan motilitas usus. Aspirasi cairan lambung hingga 30-40 cc dapat mengakibatkan kerusakan paru yang serius yang dapat kita hindari dengan cara mengurangi volume cairan lambung melalui puasa.
FISIOLOGI LAMBUNG
Periode puasa yang harus dilakukan oleh pasien menjelang pembiusan disesuaikan dengan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi menjelang tindakan pembiusan dilakukan. Hal ini sangat terkait dengan kemampuan lambung dalam mengosongkan isinya. Cairan bebas ampas biasanya dengan cepat dapat dikosongkan oleh lambung (half life 10-20 menit) contohnya air mineral, jus buah tanpa ampas, minuman bersoda, teh dan kopi hitam, tapi tidak demikian dengan minuman beralkohol.
Makanan padat biasanya lebih lama bertahan dilambung jika dibandingkan dengan cairan. Biasanya sangat tergantung kepada kandungan gizi dari jenis makanan padat tersebut. Makanan yang bayak mengandung lemak atau makanan jenis daging biasanya memerlukan waktu hingga 8 jam lebih untuk bisa dikosongkan sepenuhnya dari lambung. Sedangkan makanan ringan dan biskuit hanya membutuhkan waktu 4 jam untuk keluar sepenuhnya dari lambung. Susu dalam hal ini tergolong bahan padat karena pada saat mencapai lambung dia akan bereaksi dengan asam lambung membentuk massa yang padat yang perlu waktu lebih lama untuk di cerna. Susu sapi memerlukan waktu hingga 5 jam hingga kosong sepenuhnya dari lambung. Sedangkan ASI yang kadar protein dan lemaknya lebih rendah dari susu sapi dalam proses pencernaannya memerlukan waktu yang lebih cepat.

ASA FASTING GUIDELINES (1999)
JENIS MAKANAN LAMA PUASA MINIMAL
Minuman ringan 2 jam
ASI 4 jam
Susu formula bayi 4-6 jam
Non human milk 6 jam
Makanan ringan 6 jam

Kondisi yang dapat memperlambat pengosongan lambung
1. Faktor metabolik seperti penyakit DM yang tidak terkontrol, gagal ginjal.
2. Gastroesofageal refluks dapat memperlambat pengosongan lambung dari makanan padat.
3. Peningkatan tekanan intra-abdomen (hamil, obesitas)
4. Dalam pengaruh opioid
5. Trauma

Catatan : Premedikasi oral yang diberikan 1 jam sebelum operasi dilakukan tidak memberikan efek kepada volume cairan lambung. Pada studi kasus menggunakan oral midazolam 30 mg tidak terbukti adanya regurgitasi dan aspirasi.

Bahan-bahan yang dapat mengontrol keasaman dan volume cairan lambung :
1. Antasida
2. H2 blokers/ penghambat pompa proton
3. Metocloperamide (lebih efektif IV daripada oral)
4. Antikolinergik

Catatan : pada pasien hamil direkomendasikan untuk memberikan ranitidine 150 mg pada malam hari sebelum operasi dilakukan dan 2 jam sebelum operasi dilakukan. Selama persalinan, pasien risiko tinggi direkomendasikan untuk memberikan ranitidine 150 mg setiap 6 jam. Pada kasus emergency diusahakan untuk memberikan ranitidine IV 50 mg sesegera mungkin.

Sumber : oxford handbook of anesthesia

[+/-] Selengkapnya...

ELECTRO CONVULSIF THERAPY


Electro Convulsif Therapy (ECT) atau yang lebih dikenal dengan elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang neurologist Italia Ugo Cerletti dan Lucio Bini pada tahun 1930. Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu.
MEKANISME KERJA
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis.
INDIKASI
ECT ditujukan bagi pasien gangguan jiwa baik itu schizoprenia maupun depresi berat (terutama dengan risiko bunuh diri) yang tidak berespon terhadap terapi farmakologis dengan dosis efektif tinggi dan psikoterapi. Namun diperlukan pertimbangan khusus jika ingin melakukan ECT bagi ibu hamil, anak-anak dan lansia karena terkait dengan efek samping yang mungkin di timbulkannya.
KONTRA INDIKASI
Absolut : Infark myocard, CVE, massa intracranial
Relatif : Angina tidak terkontrol, Gagal jantung kongestif, Osteoporosis berat, fraktur tulang besar, glaukoma, retinal detachment

EFEK SAMPING
Efek samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul adalah kebingungan dan memory loss setelah beberapa jam kemudian. Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde dan antegrade. Beberapa ahli juga menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih diperdebatkan karena masih belum terbukti secara pasti.
Efek samping khusus yang perlu diperhatikan :
Cardiovaskuler :
1. Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)
2. Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)
Efek Cerebral :
1. Peningkatan konsumsi oksigen.
2. Peningkatan cerebral blood flow
3. Peningkatan tekanan intra cranial
Efek lain :
1. Peningkatan tekanan intra okuler
2. Peningkatan tekanan intragastric

TINDAKAN
1. Inform consent
2. Puasa 6 jam
3. Stop obat psikiari oral
4. Premedikasi sedatif tidak direkomendasikan karena dapat memperpanjang masa pulih.
5. Pilihan obat anestesi short acting (propofol atau thiopental) + muscle relaxant (succinylcholine)
6. Untuk mencegah efek parasimpatik dapat diberikan atropine.
7. untuk mencegah efek simpatis pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler dapat diberikan atenolol 50 mg pada saat preoperatif
8. Elektrode dapat diletakkan di sisi yang sama pada kepala (unilateral) untuk mengurangi efek samping memory loss dan meminimalisir efek kognitif ataupun diletakkan pada kedua sisi dari kepala (bilateral). Namun metode bilateral biasanya lebih efektif dan lebih direkomendasikan dibandingkan unilateral.
9. Level stimulus untuk bilateral ECT adalah ½ kali ambang kejang, sedangkan untuk unilateral bisa melebihi12 kali ambang kejang. Ambang kejang dapat ditentukan dengan sistem trial and error ataupun menggunakan standar yang sudah ada.

Sumber : wikipedia dan oxford handbook of anesthesia



[+/-] Selengkapnya...

PLEASE WRITE YOUR COMMENT HERE

  © Blogger template Columnus by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP