Jehovah’s witnesses adalah sebuah kepercayaan yang tidak menyetujui transfusi darah bagi penganutnya. Kepercayaan ini telah ada sejak hamper 120 tahun dan telah dianut oleh sekitar 6 juta lebih penduduk dunia. Kepercayaan ini mulai berkembang pesat sejak tahun 1945. mereka tidak hanya menolak transfusi terhadap whole blood tapi juga beserta segala komponennya. Namun seiring perkembangan zaman kebijakan bagi penganutnya mulai melunak.
JEHOVAH’S WITNESSES
Beberapa komponen darah seperti albumin, immunoglobulins, haemophiliac preparations masih mendapat perkecualian bagi beberapa kelompok penganutnya. Operasi bypass jantung juga masih mendapat perkecualian oleh kepercayaan ini karena tidak menggunakan darah sebagai komponen penggantinya melainkan cairan kristaloid.
Kepercayaan ini sudah mendapatkan pengakuan yang sah dimata hukum sehingga bagi dokter yang melanggarnya atau mengabaikan keberatan pasien atas tranfusi dapat dituntut di pengadilan. Dokter hanya diperbolehkan melakukan transfusi hanya apabila pasien berada dalam kondisi yang mengancam nyawa dan dia tidak dapat memberikan pernyataan tentang keberatannya terhadap transfusi yang akan dilakukan (pasien tidak sadar).
Dalam kasus anak dengan orang tua yang memiliki kepercayaan Jehovah’s witnesses (umur kurang dari 16 tahun) maka jika dokter wajib mengikuti kehendak orang tuanya jika dalam kasus yang tidak darurat tapi pada kasus darurat tetap harus dilakukan transfusi dengan catatan harus dibuat rekam medis yang baik agar keluarga pasien tidak komplain.
Management Preoperatif
1. Inform consent yang baik
2. Catat list obat-obat atau bahan-bahan yang bisa diterima oleh tubuh pasien
3. Usahakan pasien dalam kondisi normovolemik haemodilution sebelum tindakan
operasi dilakukan.
4. Bila memungkinkan dan diperlukan ambil darah pasien secukupnya untuk kebutuhan
transfusi yang mendesak.
5. Anemia pre operatif harus diobati segera dengan memberikan tablet SF 2 x 200 mg dan
recombinant erythropoetin β inisial 20 units/ Kg BB SC 3 kali seminggu) dengan catatan
peningkatan HB mungkin baru muncul dalam sebulan.
6. Pilihan tehnik anestesi dan pembedahannya harus yang minimal blood loss
Managemen Intraoperatif
1. Minimalisir perdarahan intra operatif
2. Usahakan menggunakan peralatan monitoring yang noninvasif
3. Gunakan sistem intra-operative cell salvage.
4. Transamin 1 gr 3-4 x sehari sangat disarankan untuk menambah coagulability darah dan
mengurangi fibrinolisis.
5. Desmopressin (0.3–0.4 µg/kg) diharapkan dapat meningkatkan kadar factor VIII
Management Post operatif
1. Kirim ke ICU
2. Pada perdarahan masive gunakan ventilasi positif untuk mengurangi oksigen demand
3. Gunakan intravenous iron sucrose (Venofer(r) 100–200 mg IV) 3 kali seminggu, folinic acid
(15 mg/hari), dan recombinant erythropoetin β inisial 20 units/ Kg BB SC 3 kali seminggu).
4. Usahakan temperatur ruangan diatur dingin untuk mengurangi konsumsi oksigen meskipun
dengan risiko hambatan homeostasis
5. Beberapa pusat-pusat pengobatan menyarankan Hiperbarik oksigen.
-oxford handbook of anesthesiology 2008-
ANESTESIA PADA PEMBEDAHAN
Kata anestesia mungkin terasa asing bagi telinga anda sebagai orang awam dalam bidang kesehatan. Anestesia dalam keseharian lebih akrab dikenal dengan pembiusan. Anestesia sendiri berasal dari kata “an” dan “aesthesia” yang berarti mematikan rasa. Ilmu yang mempelajari tentang anesthesia dikenal dengan anesthesiology. Anesthesiology mencakup semua hal yang berhubungan dengan nyeri, pembiusan operasi dan kegawat daruratan, namun anesthesia lebih akrab dikenal oleh masyarakat sehubungan dengan proses pembiusan pada saat tindakan pembedahan dilakukan. Anesthesia pada pembedahan diawali oleh tindakan praanesthesia atau persiapan pasien sebelum menjalani pembedahan. Pada fase ini pasien dapat menceritakan semua riwayat penyakitnya serta ketakutannya dalam menghadapi pembedahan kepada dokter spesialis anestesi yang akan menangani pembiusannya. Dokter anestesi akan memeriksa penyakit utama pasien serta penyakit penyerta yang ada yang dapat menjadi penyulit pada saat nanti dilakukan tindakan pembiusan. Dokter anestesi juga akan mempertimbangkan faktor tekanan psikis yang dialami oleh pasien sehubungan dengan tindakan pembedahan yang akan dijalaninya. Faktor psikis ini juga sangat menentukan keberhasilan proses pembiusan dan pembedahan yang akan dijalani, sebab seringkali kondisi psikis pasien yang lemah dapat mempengaruhi kondisi fisiknya sehingga tidak siap pada saat pembiusan dilakukan.
Ketika pasien telah siap untuk menjalani tindakan pembedahan maka pembiusan pun dilakukan. Secara umum ada tiga hal yang akan di “matikan” selama proses pembedahan berlangsung, yaitu : mati ingatan, mati rasa dan mati gerak, yang mana dalam setiap tindakan pembedahan membutuhkan pembiusan yang berbeda. Semakin besar tindakan bedah yang akan dilakukan biasanya tindakan anesthesianya pun semakin lengkap. Anesthesia selama pembedahan dibagi menjadi general anesthesia atau bius umum, regional anesthesia dan local anesthesia atau bius local. Pilikan jenis tindakan anesthesia yang akan dilakukan biasanya telah didiskusikan pada fase praanestesia, sehingga pasien dapat memilih jenis pembiusan yang akan dijalaninya dengan arahan dari dokter anestesi yang menanganinya. Setelah dilakukan pembiusan maka pasien siap menjalani pembedahannnya dengan nyaman.
Setelah proses pembedahan berakhir maka pasien akan memasuki tahapan reanimasi atau mengembalikan kembali semua fungsi tubuh yang telah di matikan pada proses pembiusan sebelumnya. Pada proses inilah permasalahan dapat timbul, seperti pasien tidak bangun-bangun lagi, atau mengalami koma yang dalam, atau pasien memberontak keras karena mendadak kesadarannnya pulih. Biasanya hal ini merupakan sebuah risiko yang dapat dialami oleh siapa saja yang mengalami pembiusan. Beberapa ahli anestesi telah menganalisa bahwa respon setiap orang terhadap obat-obatan anesthesia sangat beragam, terkadang dengan dosis yang minimal pun beberapa orang dapat memberikan respon pembiusan yang sangat dalam. Tapi kita tidak perlu khawatir sebab dokter anestesi telah memperhitungkan semua kemungkinannnya dengan cermat.
Setelah kesadaran pasien pulih timbul permasalahan baru yang mengganggu kenyamanan pasien yaitu nyeri paska pembedahan serta segala permasalahn yang menyertainya yang dapat menghambat proses penyembuhan pasien. Disini peran seorang dokter anestesi sangat penting dalam melakukan managemen nyeri sehingga pasien tetap merasa nyaman selama menjalani proses penyembuhannnya.
TATALAKSANA NYERI AKUT
Sensasi nyeri adalah suatu hal yang sangat sering kita alami dalam keseharian kita.. Sensasi nyeri berdiri sendiri di antara sensasi lainnya karena disertai oleh unsur psikologis dan emosional. Hal ini diketahui oleh International Association for the Study of Pain (IASP) yang mendefinisikan nyeri sebagai “sensasi atau rasa yang tidak nyaman dan pengalaman emosional yang disebabkan oleh kerusakan jaringan atau kemungkinan kerusakan jaringan atau istilah-istilah lainnya yang digunakan untuk menjelaskan kerusakan tersebut.” Sehingga dapat dikatakan bahwa sensasi nyeri adalah alarm peringatan yang memberitahu kesadaran bahwa ada sesuatu dalam tubuh kita yang tidak berjalan normal. Bila nyeri tidak ditangani secara benar maka dapat menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut.
Nyeri akut adalah nyeri yang mendadak dan bersifat sementara yang biasanya dapat berlangsung beberapa hari (kurang dari 2 minggu). Biasanya nyeri akut dapat merupakan respon awal dari adanya kerusakan jaringan tubuh. Bentuk dari nyeri akut dapat berupa nyeri somatik luar (nyeri tajam di kulit, subkutis, mukosa), nyeri somatik dalam (nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat) dan nyeri viseral (nyeri karena penyakit atau disfungsi organ dalam). Konsekuensi dari adanya kerusakan jaringan adalah disekresikannnya zat- zat kimia bersifat algesik (menimbulkan nyeri) yang berkumpul di sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi tersebut diantaranya: bradikinin, histamin, katekolamin, sitokinin, serotonin, proton, lekotrien, prostaglandin substansi-P dan 5-hidroksitriptamin.
Mekanisme nyeri diawali oleh adanya sensasi nyeri yang ditangkap oleh tubuh melalui reseptornya dikulit yaitu free nerve ending (ujung saraf bebas). Reseptor nyeri dapat dirangsang oleh stimulasi mekanik, suhu panas, atau oleh zat kimia yang mengiritasi. Ketika reseptor nyeri pada jaringan perifer dirangsang (misalnya pada kulit) maka impuls nosiseptif (nyeri) dihantarkan ke sistem saraf pusat oleh serabut saraf khusus melalui medula spinalis menuju ke otak, yang nantinya pada Pusat-pusat yang lebih tinggi ini sensasi nyeri akan diubah menjadi persepsi nyeri serta komponen emosional yang menyertainya. Respons sistemik terhadap nyeri akut berhubungan dengan respons neuroendokrin sesuai derajat nyerinya. Nyeri akut akan menyebabkan peningkatan hormon katabolik (katekolamin, kortisol, glukagon, renin, aldosteron, angiotensin, hormon antidiuretik) dan penurunan hormon anabolik (insulin, testosteron). Manifestasi nyeri dapat berupa hipertensi, takikardi (denyut nadi di atas normal), hiperventilasi (kebutuhan Oksigen dan produksi karbon dioksida meningkat), tonus sfingter saluran cerna dan saluran air kemih meningkat (ileus, retensi urin).
Penentuan derajat nyeri akut sangat penting guna merencanakan pengobatan yang akan dipilih.. Derajat nyeri akut dapat diukur dengan macam- macam cara, misalnya tingkah laku pasien, skala verbal dasar, skala analog visual dan lain-lain. Secara sederhana nyeri akut pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya dikatagorikan sebagai: tidak nyeri (none), nyeri ringan (mild, slight), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe) dan sangat nyeri (very severe, intolerable). Kemudian paramedis dapat mencocokkkan antara rasa nyeri yang diungkapkan oleh pasien dengan ekspresi nyeri yang ditunjukkannya guna menentukan derajat nyeri yang sesungguhnya.
Penanganan nyeri akut memerlukan kombinasi dari terapi farmakologis dan non farmakologis. Dimana pada terapi nonfarmakologis kita harus memperbaiki atau mengobati juga kerusakan jaringan yang menimbulkan nyeri atau mengatasi juga kondisi sistemik yang dapat menimbulakan nyeri disamping tetap memberikan terapi farmakologis untuk mengatasi rasa nyerinya. Metoda terapi farmakologis nyeri akut, disesuaikan dengan standar pola penangannan nyeri dari WHO. Untuk mengatasi nyeri ringan digunakan obat anti inflamasi non steroid (parasetamol, asam mefenamat, ibuprofen, natrium diclofenak), untuk mengatasi nyeri sedang digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid (narkotika) lemah seperti kodein dan untuk mengatasi nyeri berat digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid kuat (morfin). Selain pengobatan diatas kadang dibutuhkan juga pengobatan tambahan diantaranya obat sedatif bila nyeri disertai stress, pengobatan akupunktur, sampai blok anestesi.
Metoda pengobatan nyeri dapat dengan cara sistemik (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara yang sering digunakan dan paling digemari ialah intramuscular sebab memberikan efek penghilang nyeri lebih cepat, meskipun paradigma ilmu kedokteran saat ini telah berupaya untuk mendidik masyarakat sedapat mungkin mengurangi pemberian obat intramuscular. Metoda regional misalnya dengan epidural opioid atau intraspinal opioid. Kadang- kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan selesai. Untuk masyarakat umun bila mengalami nyeri disarankan untuk segera berkonsultasi ke dokter untuk mendapatkan pengobatan sesuai dengan masalah nyeri yang dialami.
-Dari berbagai sumber-
MENGENAL OBAT PENENANG (SEDATIF)
Akhir-akhir ini kita sudah sering mendengar tentang penggunaan obat-obat penenang yang berlebihan terutama yang terkait dengan kematian sang raja pop “Michael Jackson”. Tentu kita banyak bertanya-tanya sebenarnya apa sih obat penenang itu?
Obat penenang atau yang dalam dunia medis lebih dikenal dengan sedatif adalah jenis obat-obatan yang memberikan efek tidur dengan cara memberikan rasa tenang kepada orang yang mengkonsumsinya. Obat penenang biasanya tidak dijual bebas diapotik, melainkan harus menggunakan resep dokter.
Obat-obat penenang biasanya bekerja di sistem saraf pusat dengan berikatan pada reseptor GABA yang merupakan neurotransmiter bersifat inhibisi pada sistem saraf pusat manusia. Obat penenang juga bekerja menghambat efek eksistasi pada reseptor glutamate sehingga pada dosis yang tepat orang yang mengkonsumsinya akan merasa tenang dan dapat tertidur dengan nyaman.
JENIS-JENIS OBAT PENENANG
1. Barbiturat seperti: amobarbital, pentobarbital, secobarbital, Phenobarbitol
2. Benzodiazepin seperti : clonazepam, diazepam, estazolam, flunitrazepam, lorazepam,
midazolam, nitrazepam, oxazepam, triazolam, temazepam, chlordiazepoxide, alprazolam
3. Herbal sedatif seperti : ashwagandha, catnip, kava, mandrake, valerian
4. Nonbenzodiazepin sedatif seperti : eszopiclone, zaleplon, zolpidem, zopiclone
5. Antihistamin seperti : Diphenhydramine dan Dimenhydrinate.
Diazepam
Obat penenang jenis ini cukup sering digunakan dikalangan medis bahkan termasuk obat yang paling sering diresepkan dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini. Diazepam banyak digunakan karena memiliki rentang dosis letal yang lebar namun memiliki efek penenang yang cukup kuat. Diazepam banyak digunakan untuk mengurangi kecemasan dan mengatasi kejang. Namun obat ini tidak disarankan untuk diberikan kepada ibu hamil dan menyusui.
Diphenhydramine
Diphenhydramine banyak digunakan di praktek dokter bersama-sama dengan obat penurun panas (antipiretik) sehingga pasien dapat tidur dengan nyaman. Sebenarnya Diphenhydramine adalah obat anti gatal dan alergi (anti histamin) yang bekerja memblok reseptor H1 dengan efek samping sedatif. Sehingga efek samping sedatif inilah yang sebenarnya dicari dalam pemberiannya. Diphenhydramine cukup aman digunakan sehingga masyarakat tidak perlu khawatir jika tenaga medis memberikan obat jenis ini.
Biasanya obat penenang diresepkan oleh dokter guna mengobati kecemasan yang berlebihan. Namun dapat juga digunakan bersama-sama dengan obat penahan rasa sakit (analgesik) guna meningkatkan efek penahan rasa sakitnya. Namun obat penenang paling sering digunakan pada anestesi (pembiusan) sebelum pembedahan dilakukan.
Obat penenang tidak boleh dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama (kecuali atas indikasi medis tertentu) karena dapat menimbulkan efek ketergantungan. Obat penenang sangat sering disalahgunakan di masyarakat. Gejala-gejala ketergantungan obat penenang akan muncul jika penggunaan obatnya dihentikan, seperti : gelisah, susah tidur, badan lesu, mudah lelah, kejang (pada orang dengan riwayat kejang sebelumnya) dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi jangan khawatir jika anda mengkonsumsi obat penenang sesuai anjuran dokter, sebab Pada umumnya semua obat penenang baru menimbulkan gejala ketergantungan jika pemakaiannya lebih dari 90 hari dengan dosis terapi.
Jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan maka akan terjadi gejala overdosis obat penenang, yaitu : gangguan koordinasi, sulit berpikir, badan lemas, diikuti dengan kesulitan bernapas dan akhirnya mengarah kepada kematian. Untuk menghindarinya sangat disarankan untuk tidak mengkonsumsi obat penenang melebihi dosis yang diinstruksikan oleh dokter yang merawat anda.
Obat penenang sangat tidak disarankan untuk dikonsumsi bersama dengan alkohol karena dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya over dosis, sebab kedua obat ini dapat bekerja saling menguatkan efek masing-masing obat.
Beberapa obat penenang juga banyak dikaitkan dengan kasus kriminal karena penggunaannya dalam membius orang kemudian melakukan tindak kejahatan disaat orang tersebut tidak sadar. Obat-obat yang sering dipakai tersebut biasanya jenis Flunitrazepam, temazepam, midazolam. Obat-obatan ini banyak digunakan pada kasus perkosaan dan perampokan.
PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS
(EFA(Epilepsy Foundation of America), 1993)
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
PENATALAKSANAAN
Pada : menit awal
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mgper menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.
-dari berbagai sumber-
LOWONGAN KERJA
BUAT TEMAN-TEMAN DOKTER SEKALIAN INI ADA INFO LOWONGAN PEKERJAAN
DI RS.TRIJATA POLDA BALI
dibutuhkan 1 orang tenaga dokter dengan syarat :
- Sudah punya STR.
- penampilan layak
- umur gak masalah
- syarat lain sama seperti melamar pekerjaan di tempat lain
salary :
- Gaji pokok 1.250.000
- insentif 350.000
- uang lain-lain
- uang lab
- formularium obat
- gratis obat
- gratis MRS
shift jaga :
SORE-MALAM-LIBUR-LIBUR
berminat? langsung aja bawa lamaran kalian ke RS.Trijata. jam kerja ya!
Langganan:
Postingan (Atom)