MEROKOK DAN ANESTHESIA



Perokok, baik yang aktif maupun yang pasif memiliki risiko hampir 6 kali lipat untuk mengalami masalah pernapasan perioperatif jika dibandingkan dengan non perokok. Rokok mengandung nikotin dan sedikitnya 4700 bahan kimia lainnya yang 43 diantaranya dikenal bersifat karsinogenik. Merokok dalam jangka panjang dapat menimbulkan banyak penyakit seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), kanker paru, penyakit jantung iskemik dan berbagai masalah pembuluh darah lainnya.
Pada perokok mukosa saluran pernapasannya akan memproduksi mukus dalam jumlah yang besar namun dibersihkan dengan kurang efektif oleh silia pada mukosa saluran pernapasan karena fungsinya yang terganggu. Saluran pernapasannya menjadi hiper-reaktif akibat kegagalan dari fungsi kekebalan tubuh diarea tersebut. Hal ini menyebabkan para perokok potensial bermasalah pada saluran pernapasannya selama anestesia berlangsung dan juga pada periode post operatif, dimana beberapa penyakit seperti atelektasis dan pneumonia sudah mengintai para perokok, terutama pada pasien yang dilakukan pembedahan di area dada. Risiko ini juga dapat meningkat pada pasien yang kegemukan (obesitas).
Peningkatan sensitifitas saluran pernapasan pada perokok dapat muncul sebagai batuk, spasme laring, dan turunnya saturasi O2 secara cepat pada saat di induksi menggunakan volatil agents terutama jenis isofluran. Namun hal ini dapat diatasi dengan menggunakan bahan yang kurang iritatif seperti sevofluran dan melakukan pendalaman anestesia secara perlahan atau menggunakan induksi jalur intravena menggunakan propofol.

Untuk mengurangi semua risiko anestesi pada perokok dapat ditempuh beberapa hal berikut :
1. Berhenti merokok setidaknya 8 minggu sebelum suatu tindakan operasi elektif dilakukan.
2. Apabila sulit melakukan hal diatas setidaknya pasien tidak merokok selama 12 jam sebelum operasi untuk menghilangkan efek nikotin (aktivasi sistem simpatoadrenergik yang dapat meningkatkan tahanan arteri koroner). Disamping itu kadar karboxyhemoglobin (COHb) yang pada perokok berat dapat mencapai 5-15% dapat diturunkan. Peningkatan kadar COHb ini dapat menggeser kurva disosiasi ke kiri sehingga menurunkan kadar oksigen yang dapat diangkut oleh darah. Ikatan COHb ini juga dapat mengaburkan pembacaan alat pengukur saturasi O2 karena memiliki spektrum yang hampir sama dengan oxyhemoglobin sehingga dapat terjadi apa yang kita kenal dengan falsely high oxygen saturation reading.

Sumber : oxford handbook of anesthesia


[+/-] Selengkapnya...

PUASA PREOPERATIF


Puasa menjelang sebuah tindakan operasi adalah suatu hal yang rutin dilakukan untuk mengurangi efek samping dari suatu tindakan anestesi yang dilakukan selama pembedahan. Puasa bertujuan mengurangi resiko terjadinya aspirasi cairan lambung ke paru-paru pada penderita yang sedang menjalani pembedahan. Aspirasi sering terjadi pada pasien yang anestesianya tidak adequat, hamil, gemuk, airway sulit, operasi emergency, perut penuh dan pasien dengan gangguan motilitas usus. Aspirasi cairan lambung hingga 30-40 cc dapat mengakibatkan kerusakan paru yang serius yang dapat kita hindari dengan cara mengurangi volume cairan lambung melalui puasa.
FISIOLOGI LAMBUNG
Periode puasa yang harus dilakukan oleh pasien menjelang pembiusan disesuaikan dengan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi menjelang tindakan pembiusan dilakukan. Hal ini sangat terkait dengan kemampuan lambung dalam mengosongkan isinya. Cairan bebas ampas biasanya dengan cepat dapat dikosongkan oleh lambung (half life 10-20 menit) contohnya air mineral, jus buah tanpa ampas, minuman bersoda, teh dan kopi hitam, tapi tidak demikian dengan minuman beralkohol.
Makanan padat biasanya lebih lama bertahan dilambung jika dibandingkan dengan cairan. Biasanya sangat tergantung kepada kandungan gizi dari jenis makanan padat tersebut. Makanan yang bayak mengandung lemak atau makanan jenis daging biasanya memerlukan waktu hingga 8 jam lebih untuk bisa dikosongkan sepenuhnya dari lambung. Sedangkan makanan ringan dan biskuit hanya membutuhkan waktu 4 jam untuk keluar sepenuhnya dari lambung. Susu dalam hal ini tergolong bahan padat karena pada saat mencapai lambung dia akan bereaksi dengan asam lambung membentuk massa yang padat yang perlu waktu lebih lama untuk di cerna. Susu sapi memerlukan waktu hingga 5 jam hingga kosong sepenuhnya dari lambung. Sedangkan ASI yang kadar protein dan lemaknya lebih rendah dari susu sapi dalam proses pencernaannya memerlukan waktu yang lebih cepat.

ASA FASTING GUIDELINES (1999)
JENIS MAKANAN LAMA PUASA MINIMAL
Minuman ringan 2 jam
ASI 4 jam
Susu formula bayi 4-6 jam
Non human milk 6 jam
Makanan ringan 6 jam

Kondisi yang dapat memperlambat pengosongan lambung
1. Faktor metabolik seperti penyakit DM yang tidak terkontrol, gagal ginjal.
2. Gastroesofageal refluks dapat memperlambat pengosongan lambung dari makanan padat.
3. Peningkatan tekanan intra-abdomen (hamil, obesitas)
4. Dalam pengaruh opioid
5. Trauma

Catatan : Premedikasi oral yang diberikan 1 jam sebelum operasi dilakukan tidak memberikan efek kepada volume cairan lambung. Pada studi kasus menggunakan oral midazolam 30 mg tidak terbukti adanya regurgitasi dan aspirasi.

Bahan-bahan yang dapat mengontrol keasaman dan volume cairan lambung :
1. Antasida
2. H2 blokers/ penghambat pompa proton
3. Metocloperamide (lebih efektif IV daripada oral)
4. Antikolinergik

Catatan : pada pasien hamil direkomendasikan untuk memberikan ranitidine 150 mg pada malam hari sebelum operasi dilakukan dan 2 jam sebelum operasi dilakukan. Selama persalinan, pasien risiko tinggi direkomendasikan untuk memberikan ranitidine 150 mg setiap 6 jam. Pada kasus emergency diusahakan untuk memberikan ranitidine IV 50 mg sesegera mungkin.

Sumber : oxford handbook of anesthesia

[+/-] Selengkapnya...

ELECTRO CONVULSIF THERAPY


Electro Convulsif Therapy (ECT) atau yang lebih dikenal dengan elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang neurologist Italia Ugo Cerletti dan Lucio Bini pada tahun 1930. Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu.
MEKANISME KERJA
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis.
INDIKASI
ECT ditujukan bagi pasien gangguan jiwa baik itu schizoprenia maupun depresi berat (terutama dengan risiko bunuh diri) yang tidak berespon terhadap terapi farmakologis dengan dosis efektif tinggi dan psikoterapi. Namun diperlukan pertimbangan khusus jika ingin melakukan ECT bagi ibu hamil, anak-anak dan lansia karena terkait dengan efek samping yang mungkin di timbulkannya.
KONTRA INDIKASI
Absolut : Infark myocard, CVE, massa intracranial
Relatif : Angina tidak terkontrol, Gagal jantung kongestif, Osteoporosis berat, fraktur tulang besar, glaukoma, retinal detachment

EFEK SAMPING
Efek samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul adalah kebingungan dan memory loss setelah beberapa jam kemudian. Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde dan antegrade. Beberapa ahli juga menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih diperdebatkan karena masih belum terbukti secara pasti.
Efek samping khusus yang perlu diperhatikan :
Cardiovaskuler :
1. Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)
2. Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)
Efek Cerebral :
1. Peningkatan konsumsi oksigen.
2. Peningkatan cerebral blood flow
3. Peningkatan tekanan intra cranial
Efek lain :
1. Peningkatan tekanan intra okuler
2. Peningkatan tekanan intragastric

TINDAKAN
1. Inform consent
2. Puasa 6 jam
3. Stop obat psikiari oral
4. Premedikasi sedatif tidak direkomendasikan karena dapat memperpanjang masa pulih.
5. Pilihan obat anestesi short acting (propofol atau thiopental) + muscle relaxant (succinylcholine)
6. Untuk mencegah efek parasimpatik dapat diberikan atropine.
7. untuk mencegah efek simpatis pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler dapat diberikan atenolol 50 mg pada saat preoperatif
8. Elektrode dapat diletakkan di sisi yang sama pada kepala (unilateral) untuk mengurangi efek samping memory loss dan meminimalisir efek kognitif ataupun diletakkan pada kedua sisi dari kepala (bilateral). Namun metode bilateral biasanya lebih efektif dan lebih direkomendasikan dibandingkan unilateral.
9. Level stimulus untuk bilateral ECT adalah ½ kali ambang kejang, sedangkan untuk unilateral bisa melebihi12 kali ambang kejang. Ambang kejang dapat ditentukan dengan sistem trial and error ataupun menggunakan standar yang sudah ada.

Sumber : wikipedia dan oxford handbook of anesthesia



[+/-] Selengkapnya...

JEHOVAH’S WITNESSES

Jehovah’s witnesses adalah sebuah kepercayaan yang tidak menyetujui transfusi darah bagi penganutnya. Kepercayaan ini telah ada sejak hamper 120 tahun dan telah dianut oleh sekitar 6 juta lebih penduduk dunia. Kepercayaan ini mulai berkembang pesat sejak tahun 1945. mereka tidak hanya menolak transfusi terhadap whole blood tapi juga beserta segala komponennya. Namun seiring perkembangan zaman kebijakan bagi penganutnya mulai melunak.

Beberapa komponen darah seperti albumin, immunoglobulins, haemophiliac preparations masih mendapat perkecualian bagi beberapa kelompok penganutnya. Operasi bypass jantung juga masih mendapat perkecualian oleh kepercayaan ini karena tidak menggunakan darah sebagai komponen penggantinya melainkan cairan kristaloid.


Kepercayaan ini sudah mendapatkan pengakuan yang sah dimata hukum sehingga bagi dokter yang melanggarnya atau mengabaikan keberatan pasien atas tranfusi dapat dituntut di pengadilan. Dokter hanya diperbolehkan melakukan transfusi hanya apabila pasien berada dalam kondisi yang mengancam nyawa dan dia tidak dapat memberikan pernyataan tentang keberatannya terhadap transfusi yang akan dilakukan (pasien tidak sadar).
Dalam kasus anak dengan orang tua yang memiliki kepercayaan Jehovah’s witnesses (umur kurang dari 16 tahun) maka jika dokter wajib mengikuti kehendak orang tuanya jika dalam kasus yang tidak darurat tapi pada kasus darurat tetap harus dilakukan transfusi dengan catatan harus dibuat rekam medis yang baik agar keluarga pasien tidak komplain.

Management Preoperatif
1. Inform consent yang baik
2. Catat list obat-obat atau bahan-bahan yang bisa diterima oleh tubuh pasien
3. Usahakan pasien dalam kondisi normovolemik haemodilution sebelum tindakan
operasi dilakukan.
4. Bila memungkinkan dan diperlukan ambil darah pasien secukupnya untuk kebutuhan
transfusi yang mendesak.
5. Anemia pre operatif harus diobati segera dengan memberikan tablet SF 2 x 200 mg dan
recombinant erythropoetin β inisial 20 units/ Kg BB SC 3 kali seminggu) dengan catatan
peningkatan HB mungkin baru muncul dalam sebulan.
6. Pilihan tehnik anestesi dan pembedahannya harus yang minimal blood loss

Managemen Intraoperatif
1. Minimalisir perdarahan intra operatif
2. Usahakan menggunakan peralatan monitoring yang noninvasif
3. Gunakan sistem intra-operative cell salvage.
4. Transamin 1 gr 3-4 x sehari sangat disarankan untuk menambah coagulability darah dan
mengurangi fibrinolisis.
5. Desmopressin (0.3–0.4 µg/kg) diharapkan dapat meningkatkan kadar factor VIII

Management Post operatif
1. Kirim ke ICU
2. Pada perdarahan masive gunakan ventilasi positif untuk mengurangi oksigen demand
3. Gunakan intravenous iron sucrose (Venofer(r) 100–200 mg IV) 3 kali seminggu, folinic acid
(15 mg/hari), dan recombinant erythropoetin β inisial 20 units/ Kg BB SC 3 kali seminggu).
4. Usahakan temperatur ruangan diatur dingin untuk mengurangi konsumsi oksigen meskipun
dengan risiko hambatan homeostasis
5. Beberapa pusat-pusat pengobatan menyarankan Hiperbarik oksigen.

-oxford handbook of anesthesiology 2008-



[+/-] Selengkapnya...

ANESTESIA PADA PEMBEDAHAN


Kata anestesia mungkin terasa asing bagi telinga anda sebagai orang awam dalam bidang kesehatan. Anestesia dalam keseharian lebih akrab dikenal dengan pembiusan. Anestesia sendiri berasal dari kata “an” dan “aesthesia” yang berarti mematikan rasa. Ilmu yang mempelajari tentang anesthesia dikenal dengan anesthesiology. Anesthesiology mencakup semua hal yang berhubungan dengan nyeri, pembiusan operasi dan kegawat daruratan, namun anesthesia lebih akrab dikenal oleh masyarakat sehubungan dengan proses pembiusan pada saat tindakan pembedahan dilakukan. Anesthesia pada pembedahan diawali oleh tindakan praanesthesia atau persiapan pasien sebelum menjalani pembedahan. Pada fase ini pasien dapat menceritakan semua riwayat penyakitnya serta ketakutannya dalam menghadapi pembedahan kepada dokter spesialis anestesi yang akan menangani pembiusannya. Dokter anestesi akan memeriksa penyakit utama pasien serta penyakit penyerta yang ada yang dapat menjadi penyulit pada saat nanti dilakukan tindakan pembiusan. Dokter anestesi juga akan mempertimbangkan faktor tekanan psikis yang dialami oleh pasien sehubungan dengan tindakan pembedahan yang akan dijalaninya. Faktor psikis ini juga sangat menentukan keberhasilan proses pembiusan dan pembedahan yang akan dijalani, sebab seringkali kondisi psikis pasien yang lemah dapat mempengaruhi kondisi fisiknya sehingga tidak siap pada saat pembiusan dilakukan.
Ketika pasien telah siap untuk menjalani tindakan pembedahan maka pembiusan pun dilakukan. Secara umum ada tiga hal yang akan di “matikan” selama proses pembedahan berlangsung, yaitu : mati ingatan, mati rasa dan mati gerak, yang mana dalam setiap tindakan pembedahan membutuhkan pembiusan yang berbeda. Semakin besar tindakan bedah yang akan dilakukan biasanya tindakan anesthesianya pun semakin lengkap. Anesthesia selama pembedahan dibagi menjadi general anesthesia atau bius umum, regional anesthesia dan local anesthesia atau bius local. Pilikan jenis tindakan anesthesia yang akan dilakukan biasanya telah didiskusikan pada fase praanestesia, sehingga pasien dapat memilih jenis pembiusan yang akan dijalaninya dengan arahan dari dokter anestesi yang menanganinya. Setelah dilakukan pembiusan maka pasien siap menjalani pembedahannnya dengan nyaman.
Setelah proses pembedahan berakhir maka pasien akan memasuki tahapan reanimasi atau mengembalikan kembali semua fungsi tubuh yang telah di matikan pada proses pembiusan sebelumnya. Pada proses inilah permasalahan dapat timbul, seperti pasien tidak bangun-bangun lagi, atau mengalami koma yang dalam, atau pasien memberontak keras karena mendadak kesadarannnya pulih. Biasanya hal ini merupakan sebuah risiko yang dapat dialami oleh siapa saja yang mengalami pembiusan. Beberapa ahli anestesi telah menganalisa bahwa respon setiap orang terhadap obat-obatan anesthesia sangat beragam, terkadang dengan dosis yang minimal pun beberapa orang dapat memberikan respon pembiusan yang sangat dalam. Tapi kita tidak perlu khawatir sebab dokter anestesi telah memperhitungkan semua kemungkinannnya dengan cermat.


Setelah kesadaran pasien pulih timbul permasalahan baru yang mengganggu kenyamanan pasien yaitu nyeri paska pembedahan serta segala permasalahn yang menyertainya yang dapat menghambat proses penyembuhan pasien. Disini peran seorang dokter anestesi sangat penting dalam melakukan managemen nyeri sehingga pasien tetap merasa nyaman selama menjalani proses penyembuhannnya.



[+/-] Selengkapnya...

TATALAKSANA NYERI AKUT



Sensasi nyeri adalah suatu hal yang sangat sering kita alami dalam keseharian kita.. Sensasi nyeri berdiri sendiri di antara sensasi lainnya karena disertai oleh unsur psikologis dan emosional. Hal ini diketahui oleh International Association for the Study of Pain (IASP) yang mendefinisikan nyeri sebagai “sensasi atau rasa yang tidak nyaman dan pengalaman emosional yang disebabkan oleh kerusakan jaringan atau kemungkinan kerusakan jaringan atau istilah-istilah lainnya yang digunakan untuk menjelaskan kerusakan tersebut.” Sehingga dapat dikatakan bahwa sensasi nyeri adalah alarm peringatan yang memberitahu kesadaran bahwa ada sesuatu dalam tubuh kita yang tidak berjalan normal. Bila nyeri tidak ditangani secara benar maka dapat menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut.

Nyeri akut adalah nyeri yang mendadak dan bersifat sementara yang biasanya dapat berlangsung beberapa hari (kurang dari 2 minggu). Biasanya nyeri akut dapat merupakan respon awal dari adanya kerusakan jaringan tubuh. Bentuk dari nyeri akut dapat berupa nyeri somatik luar (nyeri tajam di kulit, subkutis, mukosa), nyeri somatik dalam (nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat) dan nyeri viseral (nyeri karena penyakit atau disfungsi organ dalam). Konsekuensi dari adanya kerusakan jaringan adalah disekresikannnya zat- zat kimia bersifat algesik (menimbulkan nyeri) yang berkumpul di sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi tersebut diantaranya: bradikinin, histamin, katekolamin, sitokinin, serotonin, proton, lekotrien, prostaglandin substansi-P dan 5-hidroksitriptamin.

Mekanisme nyeri diawali oleh adanya sensasi nyeri yang ditangkap oleh tubuh melalui reseptornya dikulit yaitu free nerve ending (ujung saraf bebas). Reseptor nyeri dapat dirangsang oleh stimulasi mekanik, suhu panas, atau oleh zat kimia yang mengiritasi. Ketika reseptor nyeri pada jaringan perifer dirangsang (misalnya pada kulit) maka impuls nosiseptif (nyeri) dihantarkan ke sistem saraf pusat oleh serabut saraf khusus melalui medula spinalis menuju ke otak, yang nantinya pada Pusat-pusat yang lebih tinggi ini sensasi nyeri akan diubah menjadi persepsi nyeri serta komponen emosional yang menyertainya. Respons sistemik terhadap nyeri akut berhubungan dengan respons neuroendokrin sesuai derajat nyerinya. Nyeri akut akan menyebabkan peningkatan hormon katabolik (katekolamin, kortisol, glukagon, renin, aldosteron, angiotensin, hormon antidiuretik) dan penurunan hormon anabolik (insulin, testosteron). Manifestasi nyeri dapat berupa hipertensi, takikardi (denyut nadi di atas normal), hiperventilasi (kebutuhan Oksigen dan produksi karbon dioksida meningkat), tonus sfingter saluran cerna dan saluran air kemih meningkat (ileus, retensi urin).

Penentuan derajat nyeri akut sangat penting guna merencanakan pengobatan yang akan dipilih.. Derajat nyeri akut dapat diukur dengan macam- macam cara, misalnya tingkah laku pasien, skala verbal dasar, skala analog visual dan lain-lain. Secara sederhana nyeri akut pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya dikatagorikan sebagai: tidak nyeri (none), nyeri ringan (mild, slight), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe) dan sangat nyeri (very severe, intolerable). Kemudian paramedis dapat mencocokkkan antara rasa nyeri yang diungkapkan oleh pasien dengan ekspresi nyeri yang ditunjukkannya guna menentukan derajat nyeri yang sesungguhnya.

Penanganan nyeri akut memerlukan kombinasi dari terapi farmakologis dan non farmakologis. Dimana pada terapi nonfarmakologis kita harus memperbaiki atau mengobati juga kerusakan jaringan yang menimbulkan nyeri atau mengatasi juga kondisi sistemik yang dapat menimbulakan nyeri disamping tetap memberikan terapi farmakologis untuk mengatasi rasa nyerinya. Metoda terapi farmakologis nyeri akut, disesuaikan dengan standar pola penangannan nyeri dari WHO. Untuk mengatasi nyeri ringan digunakan obat anti inflamasi non steroid (parasetamol, asam mefenamat, ibuprofen, natrium diclofenak), untuk mengatasi nyeri sedang digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid (narkotika) lemah seperti kodein dan untuk mengatasi nyeri berat digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid kuat (morfin). Selain pengobatan diatas kadang dibutuhkan juga pengobatan tambahan diantaranya obat sedatif bila nyeri disertai stress, pengobatan akupunktur, sampai blok anestesi.

Metoda pengobatan nyeri dapat dengan cara sistemik (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara yang sering digunakan dan paling digemari ialah intramuscular sebab memberikan efek penghilang nyeri lebih cepat, meskipun paradigma ilmu kedokteran saat ini telah berupaya untuk mendidik masyarakat sedapat mungkin mengurangi pemberian obat intramuscular. Metoda regional misalnya dengan epidural opioid atau intraspinal opioid. Kadang- kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan selesai. Untuk masyarakat umun bila mengalami nyeri disarankan untuk segera berkonsultasi ke dokter untuk mendapatkan pengobatan sesuai dengan masalah nyeri yang dialami.

-Dari berbagai sumber-


[+/-] Selengkapnya...

MENGENAL OBAT PENENANG (SEDATIF)

Akhir-akhir ini kita sudah sering mendengar tentang penggunaan obat-obat penenang yang berlebihan terutama yang terkait dengan kematian sang raja pop “Michael Jackson”. Tentu kita banyak bertanya-tanya sebenarnya apa sih obat penenang itu?

Obat penenang atau yang dalam dunia medis lebih dikenal dengan sedatif adalah jenis obat-obatan yang memberikan efek tidur dengan cara memberikan rasa tenang kepada orang yang mengkonsumsinya. Obat penenang biasanya tidak dijual bebas diapotik, melainkan harus menggunakan resep dokter.
Obat-obat penenang biasanya bekerja di sistem saraf pusat dengan berikatan pada reseptor GABA yang merupakan neurotransmiter bersifat inhibisi pada sistem saraf pusat manusia. Obat penenang juga bekerja menghambat efek eksistasi pada reseptor glutamate sehingga pada dosis yang tepat orang yang mengkonsumsinya akan merasa tenang dan dapat tertidur dengan nyaman.

JENIS-JENIS OBAT PENENANG

1. Barbiturat seperti: amobarbital, pentobarbital, secobarbital, Phenobarbitol
2. Benzodiazepin seperti : clonazepam, diazepam, estazolam, flunitrazepam, lorazepam,
midazolam, nitrazepam, oxazepam, triazolam, temazepam, chlordiazepoxide, alprazolam
3. Herbal sedatif seperti : ashwagandha, catnip, kava, mandrake, valerian
4. Nonbenzodiazepin sedatif seperti : eszopiclone, zaleplon, zolpidem, zopiclone
5. Antihistamin seperti : Diphenhydramine dan Dimenhydrinate.

Diazepam
Obat penenang jenis ini cukup sering digunakan dikalangan medis bahkan termasuk obat yang paling sering diresepkan dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini. Diazepam banyak digunakan karena memiliki rentang dosis letal yang lebar namun memiliki efek penenang yang cukup kuat. Diazepam banyak digunakan untuk mengurangi kecemasan dan mengatasi kejang. Namun obat ini tidak disarankan untuk diberikan kepada ibu hamil dan menyusui.

Diphenhydramine
Diphenhydramine banyak digunakan di praktek dokter bersama-sama dengan obat penurun panas (antipiretik) sehingga pasien dapat tidur dengan nyaman. Sebenarnya Diphenhydramine adalah obat anti gatal dan alergi (anti histamin) yang bekerja memblok reseptor H1 dengan efek samping sedatif. Sehingga efek samping sedatif inilah yang sebenarnya dicari dalam pemberiannya. Diphenhydramine cukup aman digunakan sehingga masyarakat tidak perlu khawatir jika tenaga medis memberikan obat jenis ini.
Biasanya obat penenang diresepkan oleh dokter guna mengobati kecemasan yang berlebihan. Namun dapat juga digunakan bersama-sama dengan obat penahan rasa sakit (analgesik) guna meningkatkan efek penahan rasa sakitnya. Namun obat penenang paling sering digunakan pada anestesi (pembiusan) sebelum pembedahan dilakukan.
Obat penenang tidak boleh dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama (kecuali atas indikasi medis tertentu) karena dapat menimbulkan efek ketergantungan. Obat penenang sangat sering disalahgunakan di masyarakat. Gejala-gejala ketergantungan obat penenang akan muncul jika penggunaan obatnya dihentikan, seperti : gelisah, susah tidur, badan lesu, mudah lelah, kejang (pada orang dengan riwayat kejang sebelumnya) dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi jangan khawatir jika anda mengkonsumsi obat penenang sesuai anjuran dokter, sebab Pada umumnya semua obat penenang baru menimbulkan gejala ketergantungan jika pemakaiannya lebih dari 90 hari dengan dosis terapi.
Jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan maka akan terjadi gejala overdosis obat penenang, yaitu : gangguan koordinasi, sulit berpikir, badan lemas, diikuti dengan kesulitan bernapas dan akhirnya mengarah kepada kematian. Untuk menghindarinya sangat disarankan untuk tidak mengkonsumsi obat penenang melebihi dosis yang diinstruksikan oleh dokter yang merawat anda.
Obat penenang sangat tidak disarankan untuk dikonsumsi bersama dengan alkohol karena dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya over dosis, sebab kedua obat ini dapat bekerja saling menguatkan efek masing-masing obat.
Beberapa obat penenang juga banyak dikaitkan dengan kasus kriminal karena penggunaannya dalam membius orang kemudian melakukan tindak kejahatan disaat orang tersebut tidak sadar. Obat-obat yang sering dipakai tersebut biasanya jenis Flunitrazepam, temazepam, midazolam. Obat-obatan ini banyak digunakan pada kasus perkosaan dan perampokan.


[+/-] Selengkapnya...

PLEASE WRITE YOUR COMMENT HERE

  © Blogger template Columnus by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP